DOMESTIKASI “PENGHUNI” SUNGAI


Created At : 2017-11-01 00:00:00 Oleh : ARIF BUDI WIBOWO,S.Pi,M.Si Berita Terkait Tugas dan Fungsi Dibaca : 989

        Pariwisata terkadang dapat menjadi pengungkit ekonomi suatu wilayah. Pernyataan tersebut cukup beralasan. Pertumbuhan sektor pariwisata selalu diiringi dengan pertumbuhan sektor lainnya. Jasa transportasi, tour guide, penginapan, dan tak terkecuali sektor kuliner. Bahkan keunikan dan keragaman kuliner suatu  wilayah tidak lagi sebagai effek samping dari pertumbuhan pariwisata itu sendiri akan tetapi sudah menjadi “alasan” seseorang membelanjakan uangnya. Kuliner sudah menjadi tujuan wisata. Begitu pula di wilayah Kabupaten Magelang. Seiring dengan pertumbuhan wisata alternatif diluar Candi Borobudur dan Mendut, yakni pariwisata berbasis pemandangan alam dan swa-photo, bertumbuh juga usaha jasa kuliner. Yang unik dan khas di Kabupaten Magelang adalah sajian menu “IWAK KALI”. Menu iwak kali merupakan sajian yang berbahan baku utama ikan – ikan yang berasal dari perairan sungai. Dapat berupa iwak kali crispy, “mangut” iwak kali, maupun iwak kali goreng. Pertumbuhan disektor kuliner tersebut dapat dijadikan sebagai indikator tumbuhnya ekonomi kerakyatan dan pertumbuhan lapangan pekerjaan.Yang dapat diartikan sebagai peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran. Akan tetapi dibalik itu semua, muncul kekhawatiran akan keberlanjutan dari keberadaan sumberdaya perikanan sungai, terutama ikan.

Setidaknya ada dua alasan yang mendasari munculnya kekhawatiran tersebut. Pertama, dengan meningkatnya permintaan akan ikan sungai, “tekanan” terhadap sumberdaya tersebut semakin bertambah. Apalagi perolehan ikan sungai untuk memenuhi permintaan dilakukan dengan cara – cara yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan racun dan setrum. Selama ini tekanan terhadap ikan sungai datang dari pencemaran limbah cair industri dan sampah yang langsung dibuang keperairan umum. Terkait dengan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan pencemaran lingkungan perairan umum, terutama sungai sebenarnya sudah ada aturan yang sangat jelas, akan tetapi penegakannya belum optimal. Sehingga praktek – praktek illegal tersebut masih berjalan sampai saat ini.

Mengingat kembali bahwa didalam Undang – undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah menjadi Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009, pada pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa “Setiap orang DILARANG melakukan penangkapan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan obat obatan kimia, bahan biologis, bahan peledak alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Dan pada pasal 84 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana PENJARA paling lama 6 (enam) tahun dan DENDA paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Membaca dan memahami aturan yang tertuang dalam pasal 8 dan pasal 84 sudah seharusnya membuat kita, meninggalkan cara – cara yang dapat mengganggu keberlanjutan dari sumberdaya perikanan tersebut. Metoda penangkapan dengan menggunakan racun dan setrum dan cara – cara yang tidak dibenarkan lainnya dapat memunculkan kondisi lebih tangkap dan kondisi dimana fishing rate melampaui recruitment rate. Kalau proses tersebut terus berjalan, keberlanjutan keberadaan sumberdaya perikanan sungai menjadi sesuatu yang sulit tercapai dan bukan tidak mungkin kelangkaan sumberdaya perikanan sungai akan terjadi. Alasan kedua yang mendasari munculnya kekhawatiran akan keberlanjutan sumberdaya perikanan sungai adalah sebagian besar ikan – ikan sungai yang menjadi favorit masyarakat pencinta kuliner iwak kali belum dapat dipijahkan dalam lingkungan budidaya.



            Gambar 1. Restocking (sumber : dispeterikan)                                                                                                               Gambar 2. Uceng (sumber : jitunews.com)

                 

Solusi yang mungkin diambil ditengah – tengah kurang optimalnya penegakkan peraturan yang ada adalah DOMESTIKASI ikan sungai terutama ikan – ikan yang menjadi favorit masyarakat. Secara definisi domestikasi diartikan sebagai sebuah upaya agar organisme (hewan dan tumbuhan) yang biasa hidup secara liar (tidak terkontrol) menjadi dapat hidup dan dikembangbiakkan dalam kondisi terkontrol. Sedangkan domestikasi ikan secara umum diartikan sebagai sebuah upaya penyesuaian suatu jenis ikan terhadap lingkungan artificial dan terkontrol baik itu wadah/tempat, pakan, maupun kualitas airnya. Tujuan utama dari domestikasi ikan adalah dapat memijahkan dan atau mengembangbiakkan suatu jenis ikan dalam lingkungan artificial dan terkontrol tersebut. Dengan demikian kita dapat memperoleh ikan dengan lebih pasti dan lebih mudah.Tidak lagi sepenuhnya tergantung kepada alam. Melalui kegiatan restocking, keberlanjutan keberadaan suatu jenis ikan akan lebih mudah terwujud. Dan harus dibarengi dengan sebuah KESADARAN dan PEMAHAMAN dari semua pihak tentang arti kata KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA. (Arif Budi W : Pengawas Perikanan Dispeterikan Kab Magelang)

                                                                                       




GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara