Pariwisata terkadang dapat menjadi pengungkit ekonomi suatu wilayah.
Pernyataan tersebut cukup beralasan. Pertumbuhan sektor pariwisata selalu
diiringi dengan pertumbuhan sektor lainnya. Jasa transportasi, tour guide, penginapan, dan tak
terkecuali sektor kuliner. Bahkan keunikan dan keragaman kuliner suatu wilayah
tidak lagi sebagai effek samping dari pertumbuhan pariwisata itu sendiri akan
tetapi sudah menjadi “alasan” seseorang membelanjakan uangnya. Kuliner sudah
menjadi tujuan wisata. Begitu pula di wilayah Kabupaten Magelang. Seiring
dengan pertumbuhan wisata alternatif diluar Candi Borobudur dan Mendut, yakni pariwisata
berbasis pemandangan alam dan swa-photo, bertumbuh juga usaha jasa kuliner.
Yang unik dan khas di Kabupaten Magelang adalah sajian menu “IWAK KALI”. Menu
iwak kali merupakan sajian yang berbahan baku utama ikan – ikan yang berasal dari
perairan sungai. Dapat berupa iwak kali crispy,
“mangut” iwak kali, maupun iwak kali goreng. Pertumbuhan disektor kuliner
tersebut dapat dijadikan sebagai indikator tumbuhnya ekonomi kerakyatan dan
pertumbuhan lapangan pekerjaan.Yang dapat diartikan sebagai peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran. Akan tetapi dibalik itu semua, muncul
kekhawatiran akan keberlanjutan dari keberadaan sumberdaya perikanan sungai,
terutama ikan.
Setidaknya
ada dua alasan yang mendasari munculnya kekhawatiran tersebut. Pertama, dengan
meningkatnya permintaan akan ikan sungai, “tekanan” terhadap sumberdaya
tersebut semakin bertambah. Apalagi perolehan ikan sungai untuk memenuhi
permintaan dilakukan dengan cara – cara yang tidak ramah lingkungan, seperti
penggunaan racun dan setrum. Selama ini tekanan terhadap ikan sungai datang
dari pencemaran limbah cair industri dan sampah yang langsung dibuang
keperairan umum. Terkait dengan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan
pencemaran lingkungan perairan umum, terutama sungai sebenarnya sudah ada
aturan yang sangat jelas, akan tetapi penegakannya belum optimal. Sehingga
praktek – praktek illegal tersebut
masih berjalan sampai saat ini.
Mengingat
kembali bahwa didalam Undang – undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah menjadi Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009, pada
pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa “Setiap orang DILARANG melakukan penangkapan
dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan obat obatan kimia, bahan
biologis, bahan peledak alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat
merugikan dan / atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Dan pada pasal 84 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana PENJARA
paling lama 6 (enam) tahun dan DENDA paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu
miliar dua ratus juta rupiah).
Membaca
dan memahami aturan yang tertuang dalam pasal 8 dan pasal 84 sudah seharusnya
membuat kita, meninggalkan cara – cara yang dapat mengganggu keberlanjutan dari
sumberdaya perikanan tersebut. Metoda penangkapan dengan menggunakan racun dan
setrum dan cara – cara yang tidak dibenarkan lainnya dapat memunculkan kondisi lebih
tangkap dan kondisi dimana fishing rate
melampaui recruitment rate. Kalau
proses tersebut terus berjalan, keberlanjutan keberadaan sumberdaya perikanan
sungai menjadi sesuatu yang sulit tercapai dan bukan tidak mungkin kelangkaan
sumberdaya perikanan sungai akan terjadi. Alasan kedua yang mendasari munculnya
kekhawatiran akan keberlanjutan sumberdaya perikanan sungai adalah sebagian
besar ikan – ikan sungai yang menjadi favorit masyarakat pencinta kuliner iwak
kali belum dapat dipijahkan dalam lingkungan budidaya.


Gambar 1.
Restocking (sumber : dispeterikan) Gambar 2.
Uceng (sumber : jitunews.com)
|
Solusi
yang mungkin diambil ditengah – tengah kurang optimalnya penegakkan peraturan
yang ada adalah DOMESTIKASI ikan sungai terutama ikan – ikan yang menjadi
favorit masyarakat. Secara definisi domestikasi diartikan sebagai sebuah upaya
agar organisme (hewan dan tumbuhan) yang biasa hidup secara liar (tidak
terkontrol) menjadi dapat hidup dan dikembangbiakkan dalam kondisi terkontrol. Sedangkan
domestikasi ikan secara umum diartikan sebagai sebuah upaya penyesuaian suatu
jenis ikan terhadap lingkungan artificial
dan terkontrol baik itu wadah/tempat, pakan, maupun kualitas airnya. Tujuan
utama dari domestikasi ikan adalah dapat memijahkan dan atau mengembangbiakkan
suatu jenis ikan dalam lingkungan artificial
dan terkontrol tersebut. Dengan demikian kita dapat memperoleh ikan dengan
lebih pasti dan lebih mudah.Tidak lagi sepenuhnya tergantung kepada alam. Melalui
kegiatan restocking, keberlanjutan
keberadaan suatu jenis ikan akan lebih mudah terwujud. Dan harus dibarengi
dengan sebuah KESADARAN dan PEMAHAMAN dari semua pihak tentang arti kata
KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA. (Arif Budi W : Pengawas Perikanan Dispeterikan Kab
Magelang)
Created At : 2017-11-01 00:00:00 Oleh : ARIF BUDI WIBOWO,S.Pi,M.Si Berita Terkait Tugas dan Fungsi Dibaca : 228